SELAMAT DATANG DI BLOG SAHRUL

Jumat, 24 Juni 2011

Ruyati di antara Isu Kemiskinan dan Korupsi

Mimpi Ruyati binti Satubi (54) mengumpulkan bekal di hari tua pupus. Hidupnya berakhir di tangan algojo setelah ia mengaku membunuh ibu dari majikan yang sering menyiksanya. Di belakang Ruyati, 28 tenaga kerja asal Indonesia juga diancam hukuman mati di Arab Saudi dengan berbagai dakwaan. Maria Hartiningsih
Ironisnya, tragedi Ruyati terjadi hanya dua hari setelah dalam Sidang Ke-100 Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengadopsi Konvensi Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga di Jenewa, Swiss.
Ironisnya lagi, tragedi itu terjadi setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di depan Sidang ILO tentang penghormatan dan perlindungan terhadap hak buruh migran Indonesia melalui regulasi beserta institusinya.
Tentu saja Presiden yudhoyono tidak menjelaskan Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri sebenarnya lebih merupakan privatisasi pengelolaan tenaga kerja Indonesia yang justru melegalkan posisi buruh sebagai komoditas.
Negara menerima devisa dari remiten TKI dan target pengiriman terus meningkat. Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) mencatat, devisa diproyeksikan mencapai 12,5 miliar dollar AS tahun 2014 dari sekitar 7 miliar dollar AS tahun 2010. Saat ini ada sekitar 6 juta buruh migran, lebih dari 70 persen perempuan, bekerja di sektor informal.
Dengan UU No 39/2004 negara melemparkan tanggung jawab melindungi warga negaranya kepada perusahaan swasta yang sarat kepentingan bisnis. Kata sakti ”perlindungan” bisa menjadi alat kontrol dan alat memeras TKI.
Di antaranya dengan biaya penempatan yang jauh melampaui biaya seharusnya. Isu struktural ini tak mendapat perhatian, padahal praktik selama puluhan tahun itu mengandung unsur perbudakan. Semua itu belum termasuk uang yang dikutip dari calon TKI yang pengelolaannya tidak transparan dan melibatkan banyak instansi.
Penuh ironi
Tragedi Ruyati terjadi menyusul promosi ”keberhasilan” negosiasi dalam Senior Official Meeting antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi untuk membuat nota kesepakatan (MOU) mengenai perlindungan buruh migran di negeri itu.
Berita MOU itu bergemuruh sehingga mengesankan sudah ada kesepakatan. Padahal jarak antara pembicaraan soal MOU dan terbentuknya MoU, kesepakatan dan implementasi, bisa jauh panggang dari api.
Revisi MOU antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang perlindungan TKI baru putus setelah lima tahun. Sementara korban berjatuhan, termasuk Isti Komariah, yang baru-baru ini tewas akibat disiksa majikan. Migrant Care mencatat, 345 buruh migran Indonesia terancam hukuman mati di Malaysia, tiga sudah divonis dan tinggal menunggu eksekusi.
Perlu dicatat pula, dari 42 negara tujuan kerja buruh migran Indonesia, Pemerintah Indonesia hanya punya 10 nota kesepakatan (MOU). Itu pun tak mengikat secara hukum dan tak pernah disosialisasikan. ATKI malah mensinyalir rencana perluasan pasar tujuan tenaga kerja Indonesia.
Korban terus berjatuhan dan sebagian besar perempuan. Feminisasi buruh migran adalah pelanggaran serius. Ruyati adalah gambaran paling jelas bagaimana perempuan berada di baris terdepan yang siap jadi mangsa sistem dan struktur di tataran budaya, ekonomi dan politik, dari tingkat paling lokal, sampai internasional.
Ruyati, ibu tiga anak, nenek dari tujuh cucu, menjadi buruh migran untuk membiayai sekolah salah satu anak perempuannya. Tahun 1999 ia berangkat ke Madinah selama lima tahun. Kemudian kembali lagi bekerja selama enam tahun untuk mencari modal bagi anak laki-lakinya. Ketika berangkat lagi 16 bulan lalu, Ruyati sudah bercerai.
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan, perempuan buruh migran baru mendapat modal untuk kebutuhan dirinya sendiri setelah tiga-empat kali bolak-balik bekerja di luar negeri, kalau selamat, setelah kebutuhan anggota keluarganya terpenuhi.
Hak bekerja
Cara paling mudah untuk meredam protes masyarakat adalah pernyataan menghentikan (sementara) pengiriman TKI. Tindakan itu tak menyelesaikan persoalan karena migrasi tenaga kerja adalah salah satu cara memenuhi hak atas pekerjaan (ILO, 1990), apalagi ketika negara tak mampu menyiapkannya.
Migrasi buruh migran di sektor informal adalah gambaran paling jelas dari ketiadaan lapangan kerja, kemiskinan, dan korupsi. Memang harus dibuktikan secara lebih akurat hubungan antara ketiganya. Namun, data berikut barangkali bisa memperjelas.
Sebelum krisis ekonomi, ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah Rp 100 triliun, angka kemiskinan 22 juta. Saat APBN mencapai Rp 1.200 triliun, angka kemiskinan tercatat 31 juta. Kalau garis kemiskinan dinaikkan menjadi 2 dollar AS per hari, angka kemiskinan menjadi 115 juta jiwa atau sekitar 49 persen dari sekitar 237 juta penduduk. Sementara itu, korupsi terus meruyak.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 176 kasus korupsi di pemerintah pusat dan daerah dengan 411 tersangka dan potensi kerugian negara sekitar Rp 2,102 triliun selama Januari-Juni 2010. Banyak kasus korupsi berkelindan dengan masalah politik sehingga sulit dituntaskan.
Dalam kondisi seperti itu, adab tak punya tempat sehingga sulit menciptakan regulasi sosial yang sangat ketat agar buruh migran tidak diperlakukan sebagai barang dagangan dalam rezim pasar bebas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar